I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pengetahuan
yang merupakan segala informasi yang diterima oleh pancaindera manusia.
Sedangkan ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui serangkaian
kegiatan sistematis. Dasar dari Ilmu adalah teori dan fakta dimana dalam
memperolehan Ilmu dilakukan dengan melibatkan proses berpikir rasional dan
empiris. Sehingga pengetahuan dapat dikategorikan Ilmu jika pengetahuan
tersebut benar (dapat diterima) secara rasional dan teruji kebenarannya secara
empiris.
Sedangkan
metode ilmiah atau proses
ilmiah merupakan proses keilmuan
untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti
fisis. Ilmuwan melakukan pengamatan
serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan
fenomena alam.
Prediksi
yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen.
Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis
tersebut dapat menjadi suatu teori
ilmiah.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau
tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan
sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dari
sebuah pertanyaan, diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dari itu
muncullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar.Masalah
inilah yang pada ilmu filsafat di sebut dengan epistimologi. Setiap jenis
pengetahuan memiliki ciri-ciri spesifik atau metode ilmiah mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun. Ketiga landasan saling memiliki keterkaitan; ontologi ilmu
terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi
ilmu dan seterusnya. (Suriasumantri, 2007:105)
Epistemologi
merupakan salah satu diantara tiga hal besar yang menentukan pandangan hidup
seseorang. Pandangan disini berkaitan erat dengan kebenaran, baik itu sifat
dasar, sumber maupun keabsahan kebenaran tersebut. Konsep ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya
dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.
Latar belakang
hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa
panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia
dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan
dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir
tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur
pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri
berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan
keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah
pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari
validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
Dengan alasan
itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof
Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan
dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih
digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal
dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan
keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance
dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir
yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi
suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650)
dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh
John Locke di Inggris. (Hardono, 1997: 35)
Istilah
epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Feriere dari Institute of
Metaphysics pada tahun 1854 M dengan tujuan membedakan antara 2 cabang filsafat
yaitu epistemologi dengan ontologi. Epistemologi ialah cabang filsafat yang
menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan (Buku
Unsur-Unsur Filsafat, Louis Kattsoff).
Secara
etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata
dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan,
sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik.
Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik
mengenai pengetahuan. Dalam Bahasa Inggris epistemologis disebut sebagai The
Theory of Knowledge dan dalam bahasa Indonesia epistemologi disebut filsafat
pengetahuan. Epistemologi is one the core areas of philosophy. It is concerned
with the nature, sources and limits of knowledge. There is a vast array of view
about those topics, but one virtually universal presupposition is that
knowledge is true belie, but not mere true belief (Concise Routledge
Encyclopedia of Philosophy, Taylor and Francis, 2003). Epistemologi juga
disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan
menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari
struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor
mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup
epistemologi.
Jadi
epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan
diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu
diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara,
teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Begitu luasnya tentang Epistemologi, maka dalam makalah ini akan dibahas
mengenai Epistemologi dalam pengetahuan, metode ilmiah dan pengetahuan ilmiah
(ilmu) serta metode-metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
tersebut.
II. PEMBAHANSAN
2.1. Pengetahuan
Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat
yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari
dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya
antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan
erat dengan epistemologi dan ontologi.
Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti : apa
dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah,
bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan,
memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan
validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah;
macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta
implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Epistemologi sendiri berasal dari
bahasa Yunani
episteme (pengetahuan) dan
logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah
cabang
filsafat
yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis
pengetahuan.
Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas
dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi
atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode
kontemplatis dan metode dialektis.
Pengetahuan
memiliki tiga fungsi yaitu menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Penjelasan
keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan
ramalan tersebut dapat dilakukan upaya untuk megontrol agar ramalan itu menjadi
kenyataan atau tidak. Aristotales membagi kerja dasar intelektual ke dalam [1]
memahami obyek, [2] membentuk dan memilah, [3] menalar dari sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang tidak diketahui. Anasir itu membentuk suatu
disiplin yang ditempuh oleh Aristoteles yang kemudian disebut “Logika”, yang
oleh Aristoteles bertujuan untuk membuat dan menguji inferensi (kesimpulan
keilmuan) (Noeng Muhadjir, 1999:23)
Menurut Encyclopedia of Philosophy, pengetahuan didefinisikan
sebagai kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Menurut
Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atauhasil pekerjaan
mengetahui. Mengetahui itu hasil kenal, sadar, insaf, mengerti, benar dan
pandai. Pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar maka bukan pengetahuan
tetapi kekeliruan atau kontradiksi. Pengetahuan merupakan hasil suatu proses
atau pengalaman yang sadar. Pengetahuan (knowledge) merupakan terminologi
generik yang mencakup seluruh hal yang diketahui manusia. Dengan demikian
pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman,
pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta
mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan manusia mempunyai
pengetahuan adalah:
a.
Memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidup
b.
Mengembangkan arti kehidupan
c.
Mempertahankan kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
d.
Mencapai tujuan hidup.
Ada
beberapa jenis Pengetahuan yaitu:
a)
Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan
terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
b)
Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja tetapi ingin
mengetahui lebih dalam dan luas untuk mengetahui kebenarannya, tetapi masih
berkisar pada pengalaman.
c)
Pengetahuan filsafat, adalah pengetahuan yang tidak
mengenal batas, sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan
hakiki sampai diluar dan diatas pengalaman biasa.
d) Pengetahuan
agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan
Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk
agama.
Pada suatu saat, manusia ingin mengetahui sesuatu tentang
dirinya, dunia sekitarnya, oranglain, yang baik dan yang buruk, yang indah dan
jelek, dan macam-macam lagi. Jika ingin mengetahui sesuatu, tentu ada suatu
dorongan dari dalam diri manusia yang mengajukan pertanyaan yang perlu jawaban
yang memuaskan keingintahuannya. Dorongan itu disebut rasa ingin mengetahui.
Sesuatu yang
diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan yang memuaskan manusia
adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang tidak benar adalah kekeliruan.
Keliru seringkali lebih jelek dari pada tidak tahu. Pengetahuan yang keliru
dijadikan tindakan/perbuatan akan menghasilkan kekeliruan, kesalahan dan
malapetaka. Sasaran atau objek yang ingin diketahui adalah sesuatu yang ada,
yang mungkin ada, yang pernah ada dan sesuatu yang mengadakan. Dengan demikian
manusia dirangsang keingintahuannya oleh alam sekitarnya melalui indranya dan
pengalamannya. Hasil gejala mengetahui adalah manusia mengetahui secara sadar
bahwa dia telah mengetahui. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa Pengetahuan
pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek
tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya
seperti seni dan agama.
A.
Hakekat Pengetahuan
1.
Ada dua teori yang digunakan untuk mengetahui hakekat
Pengetahuan:
Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan
adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata.
2. Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan
adalah proses-proses mental/psikologis yang bersifat subjektif. Pengetahuan
merupakan gambaran subjektif tentang sesuatu yang ada dalam alam menurut
pendapat atau penglihatan orang yang mengalami dan mengetahuinya. Premis pokok
adalah jiwa yang mempunyai kedudukan utama dalam alam semesta.
B.
Sumber Pengetahuan
Ada beberapa pendapat tentang sumber
pengetahuan antara lain:
1. Empirisme, menurut aliran ini manusia
memperoleh pengetahuan melalui pengalaman (empereikos= pengalaman). Dalam hal
ini harus ada 3 hal, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek) dan
cara mengetahui (pengalaman). Tokoh yang terkenal: John Locke (1632 –1704),
George Barkeley (1685 -1753) dan David Hume.
2. Rasionalisme, aliran ini menyatakan
bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan,
walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes
(1596 –1650, Baruch Spinoza (1632 –1677) danGottriedLeibniz (1646 –1716).
3. Intuisi. Dengan intuisi, manusia
memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses pernalaran
tertentu. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi
pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.
4. Wahyu adalah pengetahuan yang bersumber
dari Tuhan melalui hambanya yang terpilih untuk menyampaikannya (NabidanRosul).
Melalui wahyu atau agama, manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik
yang terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia.
2.2.
Metode
Ilmiah
Kata
metode berasal bahasa Yunani yaitu kata “methos” yang terdiri dari unsur kata
berarti cara, perjalanan sesudah, dan kata “kovos” berarti cara perjalanan,
arah. Metode merupakan kajian atau telaah dan penyusunan secara sistematik dari
beberapa proses dan asas-asas logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun
suatu penelitian dan kajian ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut
ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.
Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang
memiliki langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi
metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat
dalam metode ilmiah.
Proses kegiatan
ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada
masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia. Jadi
ilmu tidak mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena
yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang
nyata pula. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya. Teori
yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam
dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya,
teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek
yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus
didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah
yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya
secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan
pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.
Ada
beberapa teori yang menjelaskan tentang kebenaran, antara lain sebagai berikut:
1) The correspondence theory of truth. Menurut teori ini,
kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
2) The consistence theory of truth. Menurut teori ini,
kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain,
yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu
sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang
baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui
benarnya terlebih dahulu.
3) The pragmatic theory of truth. Yang dimaksud dengan
teori ini ialah bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi
manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran
adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang
telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori
tersebut bagi kehidupan manusia. Sedangkan nilai kebenaran itu
bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution
dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga
tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun
kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1.
Kebenaran wahyu
2.
Kebenaran spekulatif filsafat
3.
Kebenaran positif ilmu pengetahuan
4.
Kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan
yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang
pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan
mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak
benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang
kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin
saja mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan.
Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-rubah dan berkembang. Menurut
kajian epistemologi terdapat beberapa metode untuk memperoleh pengetahuan,
diantaranya adalah :
1.
Metode Empirisme
Menurut paham empirisme, metode untuk memperoleh pengetahuan
didasarkan pada pengalaman yang bersifat empiris, yaitu pengalaman yang bisa
dibuktikan tingkat kebenarannya melalui pengamalan indera manusia. Seperti
petanyaan-pertanyaan bagaimana orang tahu es membeku? Jawab kaum empiris adalah
karena saya melihatnya (secara inderawi/panca indera), maka pengetahuan
diperoleh melalui perantaraan indera. Menurut John Locke (Bapak Empirisme
Britania) berkata, waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku
catatan kosong, dan didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman
indera. Akal merupakan sejenis tempat penampungan, yang secara prinsip menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Proses terjadinya pengetahuan menurut
penganut empirisme berdasarkan pengalaman akibat dari suatu objek yang
merangsang alat inderawi, kemudian menumbuhkan rangsangan saraf yang diteruskan
ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan sebagaimana adanya dan dibentuklah
tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat inderawi ini.
Kesimpulannya adalah metode untuk memperoleh pengetahuan bagi penganut
empirisme adalah berdasarkan pengalaman inderawi atau pengalaman yang bisa
ditangkap oleh panca indera manusia.
2.
Metode Rasionalisme
Berbeda dengan penganut empirisme, karena rasionalisme
memandang bahwa metode untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui akal
pikiran. Bukan berarti rasionalisme menegasikan nilai pengalaman, melainkan
pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal pikiran untuk memperoleh
suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes (Bapak Rasionalisme), bahwa kebenaran
suatu pengetahuan melalui metode deduktif melalui cahaya yang terang dari akal
budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai :
a. Sejenis
perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal kebenaran.
b. Suatu
teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan
kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran. Fungsi pengalaman
inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan pembantu atau sebagai
pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh kebenaran.
3. Metode Fenomenalisme
Immanuel Kant adalah filsuf Jerman abad XX yang melakukan
kembali metode untuk memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan
kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap pandangan yang
bersifat empiris dan rasionalisme. Menurut Kant, metode untuk memperoleh
pengetahuan tidaklah melalui pengalaman melainkan ditumbuhkan dengan
pengalaman-pengalaman empiris disamping pemikiran akal rasionalisme. Syarat
dasar bagi ilmu pengetahuan adalah bersifat umum dan mutlak serta memberi
pengetahuan yang baru. Menurutnya ada empat macam pengetahuan :
a. Pengetahuan analisis a priori yaitu pengetahuan yang
dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur pengetahuan yang tidak tergantung
pada adanya pengalaman, atau yang ada sebelum pengalaman.
b.
Pengetahuan sintesis a priori, yaitu pengetahuan
sebagai hasil penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri
yang mempersatukan dan penggabungan dua hal yang biasanya terpisah.
c.
Pengetahuan analitis a posteriori, yaitu pengetahuan
yang terjadi sebagai akibat pengalaman.
d. Pengetahuan sintesis a posteriori yaitu pengetahuan
sebagai hasil keadaan yang mempersatukan dua akibat dari pengalaman yang
berbeda. Pengetahuan tentang gejala (phenomenon) merupakan pengetahuan yang
paling sempurna, karena ia dasarkan pada pengalaman inderawi dan pemikiran
akal, jadi Kant mengakui dan memakai empirisme dan rasionalisme dalam metode
fenomenologinya untuk memperoleh pengetahuan.
4. Metode Intuisionisme
Metode intuisionisme adalah suatu metode untuk memperoleh
pengetahuan melalui intuisi tentang kejadian sesuatu secara nisbi atau
pengetahuan yang ada perantaraannya. Menurut Henry Bergson, penganut
intusionisme, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui suatu pengetahuan
secara langsung. Metode intuisionisme adalah metode untuk memperoleh
pengetahuan dalam bentuk perbuatan yang pernah dialami oleh manusia. Jadi
penganut intuisionisme tidak menegaskan nilai pengalaman inderawi yang bisa
menghasilkan pengetahuan darinya. Maka intuisionisme hanya mengatur bahwa
pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.
5.
Metode Ilmiah
Pada metode ilmiah, untuk memperoleh pengetahuan dilakukan
dengan cara menggabungkan pengalaman dan akal pikiran sebagai pendekatan
bersama dan dibentuk dengan ilmu. Secara sederhana teori ilmiah harus memenuhi
2 syarat utama yaitu harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya dan harus
cocok dengan fakta-fakta empiris. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara
logika deduktif dan induktif dimana rasionalisme dan empirisme berdampingan
dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif. Metode ilmiah diawali dengan
pengalaman-pengalaman dan dihubungkan satu sama lain secara sistematis dengan
fakta-fakta yang diamati secara inderawi. Untuk memperoleh pengetahuan dengan
metode ilmiah diajukan semua penjelasan rasional yang statusnya hanyalah
bersifat sementara yang disebut hipotesis sebelum teruji kebenarannya secara
empiris. Hipotesis, yaitu dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan
yang sedang kita hadapi.
Untuk memperkuat hipotesis dibutuhkan dua bahan-bahan bukti
yaitu bahan-bahan keterangan yang diketahui harus cocok dengan hipotesis
tersebut dan hipotesis itu harus meramalkan bahan-bahan yang dapat diamati yang
memang demikian keadaannya. Pada metode ilmiah dibutuhkan proses peramalan
dengan deduksi. Deduksi pada hakikatnya bersifat rasionalistis dengan mengambil
premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Menurut AR Lacey untuk menemukan kebenaran yang pertama kali
dilakukan adalah menemukan kebenaran dari masalah, melakukan pengamatan baik
secara teori dan ekperimen untuk menemukan kebenaran, falsification atau
operasionalism (experimental opetarion, operation research), konfirmasi
kemungkinan untuk menemukan kebenaran, Metode hipotetico – deduktif, Induksi
dan presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta
Kerangka berpikir yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada
dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai
objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan
faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis
yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mubgkin terdapat
antara berbagai faktor yang saling mengkait dan bentuk konstelasi permasalahan.
Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasrakan premis-premis ilmiah
yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang
relevan dengan permasalahan.
c.
Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara
atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan
fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan
apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
e. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah
sebuah hipotesis yang diajukan itu di tolak atau diterima. Seandainya dalam
pengujian terdapat fakta-fakta yang cukup dan mendukung maka hipotesis tersebut
akan diterima dan sebaliknya jika tidak didukung fakta yang cukup maka
hipotesis tersebut ditolak. Hipotesis yang diterima dianggap menjadi bagian
dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta
telah teruji kebenarannya.
2.3. Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science) pada dasarnya
merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense,
suatu pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat
dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Ilmu merupakan suatu metode
berfikir secara objektif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memberi makna
terhadap gejala dan fakta melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu
harus bersifat objektif, karena dimulai dari fakta, menyampingkan sifat
kedirian, mengutamakan pemikiran logik dan netral. Secara defenitif, logika
dapat dipahami sebagai studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang
dipergunakan untuk membedakan penalaran yang lurus dari penalaran yang tidak
lurus. Dari defenisi itu jelas bahwa logika itu terkait dengan “jalan berpikir”
[metode], dan memuat sejumlah pengetahuan yang sistematis dan berdasarkan pada
hukum keilmuan sehingga orang dapat berpikir dengan tepat, teratur dan lurus.
Artinya, ber-logika berarti belajar menjadi terampil. Karena itu kegiatan
berlogika adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk melatih skill berpikir
seseorang.
Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang
menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir
dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh
karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya
siklikal. Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar
mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak
pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian
juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan.
Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin
memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu
kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu
terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini
mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan
mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan
dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam (1) Berfikir biasa dan
sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial); (2)
Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan
ilmiah (ilmu); (3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan
pengetahuan filosofis (filsafat). Dari ketiga jenis berfikir tersebut, cara
berfikir yang sistematis merupakan cara untuk menghasilkan suatu pengetahuan
ilmiah.
III.
KESIMPULAN
Epistemologi
adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang
filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh
pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu
diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara,
teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Pengetahuan
adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan
intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya
untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya
melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (sains).
Ilmu pengetahuan diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang
sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah
adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara
berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara
penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara
rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta
dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga
naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Berfikir
dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam (1) Berfikir
biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial);
(2) Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan
ilmiah (ilmu); (3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan
pengetahuan filosofis (filsafat).
DAFTAR
PUSTAKA
Bahtiar,A.
2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryasumantri, JS. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: PT Penebar swadaya.
Soewardi,
H. 2004. Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi Baru Tentang Timbul
Tenggelamnya sivilisasi. Bandung : Bahkti Mandiri.